Pages

Senin, 20 Desember 2010

diabetes melitus

Sms masuk-Innalillahi wa inna lillahi rajiun-pg. Sarifah meninggal dunia pada pukul 07.15 hari ini-dari istriku, begitu yang tertulis di layar hpku pagi ini.
Beliau pekerja keras, menjual balacang-udang kecil dipasar terong-pasar sayur terbesar diIndonesia bagian timur. Hampir setiap minggu membawa balacang hasil mengumpul sisa panen udang di daerah kec. pekakbata kab. Pinrang. Lima, enam karung diangkut oleh mobil minibus dengan ongkos sekarung limaribu rupiah.

Beliau akhirnya meninggal, setelah tidak kurang dua bulan menderita akibat terjatuh dan mengakibatkan infeksi pada paha kanannya. Memang tidak terlihat, menurut dokter-sebagai penderita diabetes melitus. Luka yang terjadi akibat patahnya tulang pahanya menyakibatkan pembusukan yang menjalar disekujur tubuhnya. Sudah masuk dikepalanya kata dokter. Dari hari-kehari, kesadarannya menurun, meski tiga hari sebelum kematiannya, kesadarannya membaik, namun kembali menurun, yang pada akhirnya berakhir pada jam 07.15. Allah memanggilnya.
Diabetes Melitus  juga merenggut ayahku dari kami, setelah diawali dengan dengan kutu air yang tidak sembuh-sembuh di jari manis kaki kirinya, kemudian menjalar ke jari tengah juga di kaki kirinya, membuat jari-jari kakinya menghitam dan membatu dan pada akhirnya jatuh.  Menyusul jari telunjuk dan jempol pada kaki yang sama yang membatu dan membusuk.
Aneh pada kasus ayah kami, pemeriksaan cairan dan nanah dari luka yang ada, nanti dilakukan setelah jari tengah membusuk. Sebelumnya dokter hanya  mengandalkan pengobatannya dengan pembersihan ulkus. Setelah lebih dari tiga bulan, didua rumahsakit pemerintah (pelamonia dan wahidin), setelah menghabiskan tidak kurang dua ratus botol infus, delapan botol tabung oksigen kecil dan empat tabung oksigen besar, dan berdos-dos obat, dan setelah divonis gagal jantung.
Sebagai pensiunan militer berpangkat kolonel, hidup disiplin sudah menjadi kebiasaan sehari-hari,  setiap hari rabu pada minggu kedua, beliau sangat rutin men-check kesehatannya dirumah sakit. Beliau sudah tahunan menggunakan insulin buatan, menjalani diet yang ketat selama tahunan-hanya nasi jagung yang dimakannya, berjalan kaki yang katanya untuk menghasilkan keringat sebagai tempat membakarnya kelebihan carbohidrate dalam tubuh rutin dilakukan. akhirnya pada tanggal dua puluh enam bulan juni tahun dua ribu tujuh pukul dua tiga tiga puluh malam-seminggu sebelum ulang tahunnya yang ke enampuluh tiga, beliau juga dipanggil Allah

Kamis, 09 Desember 2010

Buat Renungan

Evaluasi diri harus dilakukan sebelum mengeritik orang lain...

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”

Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut.

Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, “ Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong! ” Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.

Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta.
Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!”
Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!”
Si buta tertegun..

Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”
Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.”
Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita.
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam?”
Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.”

Senyap sejenak, secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa.

Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta.

Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”

Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).

Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.

Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.

Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.

Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.

Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.

Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.

Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Fikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.

Semoga bisa menjadi renungan.....




Maaf kalo copast

Sabtu, 04 Desember 2010

Detik-detik Menjelang Kematian Soekarno

Luar biasa..., membaca detik-detik terakhir kehidupan Proklamator RI...,Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.


Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus. 

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya. 

Jumat, 03 Desember 2010

Kegiatan mahasiswa "Pondasi"

Yang ketiga kalinya ikut mengawasi kegiatan mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Ujungpandang. Dari tiga tahun yang kuikuti. Inilah yang paling memperihatinkan. Mahasiswa baru hanya 70 % dari 120 maba yang mengikutinya.

Perlu evaluasi buatku, apa benar kegiatan ini masih diperlukan...???
atau hanya sekedar rutinitas tahunan yang manfaat dan urgrnsinya perlu ditanyakan.
bandingkan dengan magnet bagi Maba.

Tidak kusangkan pengkaderan bagi maba adalah salah satu langkah besar bagi dirinya. Tapi-apa harus- masih seperti yang dilakaukan puluhan tahun yang lalu. Semuanya harus berubah.

Sudihkah mahasiswa membawa pulang ke Tamalanrea Piala sebagai
Juara KJI, hal yang sangat didampakan selama tiga tahun ini...

Coba liat http://www.pnj.ac.id/pakema/

Kamis, 02 Desember 2010

Cewek Penarik Becak dan Buruh Kasar


Arti lain "Emansipasi"

Suasana tersebut, terjadi di lokasi penjualan sayur-mayur dan buah-buahan Pasar Subuh Wonomulyo. Disebut pasar subuh karena para pedagang memulai aktivitas di sisi saluran irigasi sebelah timur Pasar Induk Sidodadi, Wonomulyo saat subuh masih gelap sampai pagi mulai terang. Puluhan becak datang mengangkut barang atau menunggu muatan menjadi bagian dari suasana di lokasi tersebut.

Di antara penarik becak tersebut, seorang cewek, Ainayanti. Seperti penarik becak lainnya, gadis 18 tahun itu sekaligus menjual jasa sebagai pengangkat barang milik para pedagang. Pekerjaan tersebut dilakoni Ainayanti sejak dua tahun terakhir guna menopang ekonomi orang tuanya. Sebagai seorang gadis, Ainayanti menginginkan pekerjaan yang lebih pantas. Tapi menarik becak menjadi pilihan satu-satunya. Dia tidak memiliki keterampilan. Warga Desa Sidorejo, Kecamatan Wonomulyo itu berprinsip pekerjaan menarik becak atau buruh kasar tidak hina.

Anak ke enam dari 10 bersaudara pasangan Adrus-Agustina itu bekerja menarik becak atau mengangkat barang sebagai buruh kasar yang umumnya dilakukan kaum pria, lebih baik dan mulia daripada bergantung pada orang lain untuk memberi belas kasihan. Gadis yang mengaku hanya duduk di bangku kelas III SD itu dengan mengayuh becak selalu mengitari Pasar Wonomulyo dan sekitarnya setiap hari. Kalau penumpang sepi, dia menjual jasa mengangkat barang milik para pedagang.

Penghasilan setiap hari hanya Rp20 ribu-Rp25 ribu diakui Ainayanti sangat tidak memadai dan tidak seimbang untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Karena itu, Ainayanti mencari tambahan penghasilan sebagai pengangkat barang milik para pedagang.

Dua jenis pekerjaan kasar tersebut diakui sangat berat. Ainayantipun mengabaikan perasaan malu karena tidak ingin dikasihani orang lain dengan mengemis atau pekerjaan lain yang tidak halal. "Tidak perlu kita merasa malu daripada berharap dikasihani orang lain. Justru yang seperti itu kita harus malu," ujarnya.

Berada di antara penarik becak atau pekerja kasar lain, Ainayanti mengatakan awalnya kerap mendapat perlakuan yang tidak pantas. Apalagi, sebagian penumpang perempuan lebih senang menggunakan jasanya. Namun sering juga ada penumpang membayar sewa becak atau yang meminta barangnya diangkatkan memberikan upah yang tidak pantas. "Saya hanya bisa pasrah dan berdoa saat saya dibayar lebih besar," tuturnya.

Menurut Adrus, ayah Ainayanti, anak gadisnya itu sudah disarankan mencari pekerjaan lain yang tidak beresiko, namun halal. Tapi tidak digubris dengan alasan tidak ada pekerjaan yang hina asal dilakukan dengan niat baik. Pekerjaan menarik becak dan buruh kasar yang dilakukan Ainayanti bertujuan meringankan beban ekonomi keluarga.

"Lebih baik jadi tukang becak daripada mengemis," ujar Adrus mengutip alasan putrinya yang disebut berpendirian tegar, setegar fisiknya mengayuh becak dan menjadi buruh kasar setiap hari. (*)